
Susunan buku baru dalam rak yang terlihat rapih.

Susunan buku kuno dalam rak yang jarang tersentuh oleh pembeli.
Pasar Palasari pernah menjadi jantung perbukuan Kota Bandung. Berada di kawasan jalan Palasari, pasar ini bukan sekadar tempat menjual buku, tetapi juga simbol geliat literasi masyarakat urban yang haus akan bacaan. Di masa jayanya, kios-kios di Pasar Palasari nyaris tak pernah sepi. Pelajar, mahasiswa, guru, dosen, bahkan kolektor buku kerap datang untuk mencari buku pelajaran, novel populer, buku agama, hingga literatur asing yang sulit ditemukan di tempat lain.

Pak Sumandri salah satu pemilik toko buku di Pasar Palasari

Koleksi majalah lama milik Pak Sumandri yang dijual di tokonya
Pak Sumandri, seorang pemilik toko buku yang telah berjualan di sana sejak awal 2000-an, menyimpan kenangan manis tentang masa itu. Ia bercerita bahwa dulunya Palasari menjadi tempat langganan banyak sekolah. Buku-buku ajar dipesan dalam jumlah besar, dari puluhan hingga ratusan buku untuk satu lembaga. “Saat musim tahun ajaran baru, pasar palasari bisa penuh dari pagi sampai sore. Kami bisa cetak nota panjang sekali,” ujarnya mengenang.

Potret toko buku di Pasar Palasari yang masih bertahan.

Potret toko buku di Pasar Palasari yang tutup permanen karena gulung tikar.
Namun kini, suasananya sangat kontras. Lorong-lorong yang dulu sesak dengan pembeli, kini terlihat lengang. Banyak kios tutup permanen, sebagian lainnya masih bertahan dengan harapan yang menipis. Transformasi ke dunia digital telah mengubah peta konsumsi buku secara drastis. Orang kini lebih memilih membeli lewat toko online, atau bahkan membaca lewat perangkat digital. Pak Sumandri mengakui, kondisi ini sangat memukul para pedagang. “Penghasilan saya turun sampai 90 persen. Kadang-kadang dalam sehari tak ada pembeli sama sekali,” tuturnya pelan.

Susunan buku kuno dalam rak yang jarang tersentuh oleh pembeli.

Susunan buku baru dalam rak yang terlihat rapih.
Toko buku yang dimilikinya kini lebih sering dikunjungi oleh nostalgia ketimbang pelanggan. Buku-buku tua seperti majalah lama masih tersusun rapi, namun lebih sering tersentuh debu daripada tangan pembeli. Sementara itu, buku-buku pelajaran, kitab agama, novel klasik dan konspirasi dunia tetap ia tata dengan rapi di rak-raknya sebagai bentuk perlawanan kecil terhadap zaman yang berubah begitu cepat.

Salah satu contoh buku mewarnai untuk anak anak.

Beberapa buku dewasa yang di pajang di salah satu toko buku Palasari.
Pasar Palasari sebenarnya menyimpan kekayaan literatur yang luar biasa. Ia adalah gudang pengetahuan yang mencakup berbagai bidang, dari ilmu anak-anak hingga pemikiran dewasa. Namun, tanpa dukungan dan upaya adaptasi, semua itu bisa tinggal cerita. Para pedagang seperti Pak Sumandri masih bertahan dengan semangat, tapi tak bisa disangkal bahwa zaman tengah menggeser posisi mereka secara perlahan namun pasti. Kini, Pasar Palasari menjadi semacam artefak hidup. Ia masih berdiri, namun sepi, menyisakan jejak kejayaan masa lalu dan menyimpan pertanyaan besar, akankah pasar ini bangkit kembali? Atau ia hanya akan menjadi catatan kaki dalam sejarah literasi Indonesia?
