
Potret demonstran membentangkan bendera bertuliskan “Working Class” di bawah jembatan layang Mochtar Kusumaatmadja (01/05) (dok. Febian Vieri Azkadeva)
Bandung (1/5/25) – Setiap 1 Mei, jalanan kembali dipenuhi suara: nyaring, lantang, dan penuh tuntutan. Mayday, atau Hari Buruh Internasional, bukan sekadar seremoni tahunan, tapi momentum pengingat bahwa perjuangan kelas pekerja belum usai. Di tengah derasnya liberalisasi ekonomi dan ketimpangan sosial, potret demonstran membentangkan bendera bertuliskan “Working Class” di bawah jembatan layang Mochtar Kusumaatmadja, suara buruh di Indonesia tetap bergaung, terutama di Kota Bandung.
Tahun ini, peringatan sekaligus pagelaran Hari Buruh digelar di Taman Cikapayang, jantung kota yang telah menjadi saksi berbagai bentuk perlawanan sipil. Diselenggarakan oleh Aliansi Buruh Bandung Raya, acara ini mengusung slogan “Mayday! Bangun Persatuan Rakyat Kelas Pekerja”, menyerukan konsolidasi politik antara buruh, rakyat miskin kota, masyarakat adat, dan seluruh kalangan tertindas lainnya.



Massa partisipan “Mayday!” berkumpul di Taman Cikapayang, Kota Bandung (01/05) (dok. Febian Vieri Azkadeva)
Sosok Althaf menjadi salah satu wajah yang paling mencolok dalam dokumentasi foto peringatan ini. Ia adalah anggota Konfederasi Serikat Nasional sekaligus Humas Aliansi Buruh Bandung Raya. Sejak pagi, ia terlihat aktif mendampingi peserta aksi, mengatur teknis di lapangan, hingga menjawab pertanyaan dari media. Di balik penampilannya yang sederhana, Althaf menyampaikan gagasan-gagasan politik yang tajam: bahwa rakyat pekerja hari ini tengah terancam oleh berbagai regulasi negara yang tidak berpihak. Ia mengkritik keras RUU TNI yang membuka ruang keterlibatan militer dalam ranah sipil, serta revisi UU Polri yang dinilai dapat menjadi alat represi. “Kami menuntut perluasan ruang-ruang sipil. Negara harus menjamin kesejahteraan buruh dan keluarganya. Kami juga menuntut reforma agraria, dan industrialisasi.”, singgung Althaf ketika melakukan sesi wawancara. (01/05)

Althaf sedang melakukan sesi wawancara di Taman Cikapayang, Kota Bandung (01/05) (dok. Febian Vieri Azkadeva)


Althaf, koordinator helatan “Mayday!” Kota Bandung yang turut aktif dalam kegiatan “Mayday” (01/05) (dok. Febian Vieri Azkadeva)
Acara ini tidak hanya berisi orasi. Sejak pagi hingga sore hari, ribuan massa terlibat dalam berbagai kegiatan: mimbar bebas, posko curhat buruh, layanan konsultasi hukum, hingga pertunjukan musik
dan teater. Setiap sudut taman digunakan untuk berdiskusi, mengorganisir, dan menyampaikan keresahan. Warga dari berbagai latar belakang turut hadir: buruh pabrik, mahasiswa, kelompok masyarakat adat, warga tergusur dari Sukahaji dan Dago Elos, serta komunitas -komunitas rakyat miskin kota. Mereka semua datang bukan hanya untuk menunjukkan eksistensinya, tapi juga membuktikan bahwa perjuangan kelas pekerja melintasi batas sektor dan geografi.
Di antara massa, atribut-atribut perlawanan berkibar. Spanduk bertuliskan “WORKING CLASS” diangkat tinggi di atas kepala. Warna merah dan hitam mendominasi lapangan, menandai semangat juang dan
solidaritas yang mengakar. Di titik lain, payung-payung hitam bertuliskan “Konfederasi Serikat Nasional” dibuka untuk melindungi dari panas, tapi juga menjadi simbol perlawanan yang tenang namun tegas. Pertunjukan teater menampilkan adegan-adegan yang mencerminkan eksploitasi, kekerasan struktural, dan harapan kolektif. Musik menghentak sebagai pengingat bahwa perjuangan juga membutuhkan energi dan budaya.
Peringatan Hari Buruh ini bukan kegiatan insidental. Ia merupakan agenda rutin tahunan yang selalu disiapkan dengan semangat kolektif. Menyatukan buruh dari berbagai pabrik, warga yang mengalami penggusuran, dan kaum muda yang peduli pada keadilan sosial. Persiapan dilakukan jauh-jauh hari,
dengan melibatkan banyak kelompok yang selama ini punya sejarah penindasan yang sama. Mayday dijadikan ruang untuk memperkuat hubungan antar gerakan dan memperluas kesadaran politik kelas.



Potret anak muda yang sedang mengibarkan bendera Dago Melawan di Taman Cikapayang, Kota Bandung (01/05) (dok. Febian Vieri Azkadeva)
Foto-foto yang terdokumentasi hari itu menangkap lebih darisekadar keramaian. Ia merekam ekspresi, tubuh, dan gerakan yang menolak tunduk pada tatanan yang timpang. Wajah-wajah lelah namun bersemangat, tangan-tangan yang menunjuk langit sambil menggenggam tuntutan, dan percakapan-percakapan kecil di tengah aksi—semuanya menyatu menjadi lanskap sosial yang hidup dan bermakna. Di tengah krisis multidimensi, seruan “Mayday! Bangun Persatuan Rakyat Kelas Pekerja” menjadi
kompas moral dan politik, bahwa perubahan hanya akan datang jika rakyat bersatu dan mengambil posisi.
Peringatan Hari Buruh ini mungkin hanya sehari dalam setahun. Tapi maknanya jauh lebih dalam: ini adalah pengingat bahwa perjuangan kelas pekerja masih terus berlangsung, bahwa keadilan belum hadir sepenuhnya, dan bahwa rakyat punya hak untuk bersuara, berkumpul, dan melawan. Sepanjang
ketimpangan masih ada, maka “Mayday” akan terus hidup di jalanan, di kampung, di pabrik, dan di hati mereka yang percaya pada masa depan yang lebih adil.


Euforia peringatan “Mayday” di Taman Cikapayang, Kota Bandung (01/05) (dok. Febian Vieri Azkadeva)
