Foto / News · Juni 2, 2025

May Day: Di Balik Teriakan dan Spanduk, Ada Harapan yang Tak Pernah Padam

Para Buruh Sedang Berdemo Di Taman Cikapayang Bandung

Pada Kamis, 1 Mei 2025, suasana Taman Cikapayang di Kota Bandung berubah menjadi lautan massa buruh yang datang dari berbagai sektor industri untuk memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day. Para pekerja tersebut bersatu dalam Aliansi Buruh Bandung Raya (ABBR), sebuah koalisi yang selama ini menjadi wadah perjuangan para buruh dalam menyuarakan keadilan sosial dan hak-hak pekerja yang kian dipandang sebelah mata.

Aksi tersebut menjadi momentum penting untuk mengungkapkan kegelisahan para buruh terhadap kondisi yang mereka hadapi setiap hari. Mulai dari upah yang rendah dan tidak sebanding dengan beratnya pekerjaan yang dilakukan, hingga beban kerja yang kian meningkat tanpa diimbangi oleh jaminan sosial dan perlindungan hukum yang layak.

Peringatan May Day tahun ini di Kota Bandung menghadirkan sebuah narasi yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Alih-alih hanya menyampaikan tuntutan di depan gedung-gedung pemerintahan yang sunyi, para buruh memilih untuk mengambil alih ruang-ruang publik dan mengisinya dengan energi perjuangan. Aksi ini menjadi seruan terbuka bagi seluruh elemen masyarakat, bahwa semangat untuk memperjuangkan keadilan dan hak-hak buruh harus senantiasa hidup, tidak terbatas pada momen-momen seremonial saja.

Para Buruh terlihat begitu antusias sambil memegang poster untuk menyuarakan harapan dan pendapatnya

Wajah-Wajah di Balik Aksi

Mereka yang turun ke jalan bukan hanya aktivis. Mereka adalah ibu rumah tangga yang bekerja di pabrik konveksi, bapak-bapak yang menarik becak sambil mengirim anaknya kuliah, pekerja muda di industri kreatif yang tak memiliki asuransi kesehatan.Mereka membawa lebih dari sekadar poster. Mereka membawa cerita hidup. Tentang lembur tanpa bayaran, tentang status kontrak yang tak kunjung diangkat tetap, tentang PHK sepihak, atau tentang BPJS yang tak kunjung bisa digunakan ketika anak sakit.

Di tengah kerumunan massa yang memenuhi Taman Cikapayang siang itu, Pratama, seorang buruh aktif di salah satu PT Industri berdiri tegak dan terlihat begitu serius namun penuh keyakinan. Saat ditemui, ia menyampaikan alasannya turun ke jalan pada peringatan Hari Buruh Internasional tahun ini.

Coretan dan poster di sisi bangunan menandakan suara apara buruh yang tak bersuara namun menuntut keadilan

“Saya ikut aksi hari ini untuk memperingati Hari Buruh Nasional dan menyuarakan aspirasi kami para pekerja. Banyak teman saya yang di-PHK sepihak tanpa alasan yang jelas. Gaji kami juga terus turun, sementara kebutuhan hidup makin tinggi. Belum lagi soal jam kerja yang nggak menentu, sering kali melebihi batas tapi nggak dihitung lembur,” ujar Pratama, dengan nada penuh keprihatinan.

Ia menambahkan bahwa unjuk rasa ini bukan sekadar rutinitas tahunan, melainkan bentuk nyata dari keresahan yang sudah lama dipendam para buruh. Bagi Pratama, perjuangan seperti ini penting agar suara mereka tidak hilang ditelan sistem.

“Kalau kami diam saja, nggak akan ada yang tahu apa yang sebenarnya kami alami. Ini tentang martabat kami sebagai pekerja,” pungkasnya.

Stand mic yang kosong tanpa ada micnya menandakan suara para buruh mulai tak didengar.

May Day, Momentum Untuk Mendengar Dan Di Dengar

Di tengah gegap gempita era digitalisasi dan perkembangan pesat industri , suara-suara buruh kerap kali disepelekan, dianggap sebagai riuh yang mengganggu narasi besar kemajuan teknologi dan efisiensi produksi. Padahal sejatinya, para pekerja adalah pondasi yang menopang keberlangsungan hidup masyarakat secara menyeluruh. Mereka bukan sekedar angka dalam laporan ekonomi, melainkan manusia yang setiap harinya menggerakkan roda kehidupan dari pagi hingga malam, dari kota hingga pelosok desa.

Tanpa petani yang dengan setia mengolah tanah, kita takkan punya bahan pangan di meja makan. Tanpa sopir truk, kurir, dan pengemudi ojek daring yang bekerja melintasi waktu dan cuaca, distribusi logistik akan terhenti. Tanpa kehadiran guru honorer yang dengan penghasilan minim tetap mengabdi di ruang-ruang kelas, tak akan lahir generasi masa depan yang cerdas dan berdaya saing. Buruh adalah denyut nadi yang sering tak terlihat, tapi selalu bekerja di balik layar, menopang bangunan besar yang disebut peradaban modern.

Oleh karena itu, May Day yang merupakan Hari Buruh Internasional, tidak seharusnya dipahami semata-mata sebagai momentum turun ke jalan atau bentuk perlawanan. Ia adalah pengingat tahunan bahwa keadilan sosial harus terus diperjuangkan.