
Rumah Susun Sarijadi, yang berdiri sejak 1979 di kawasan barat laut Kota Bandung, dulunya adalah simbol harapan bagi para karyawan PT Nurtanio. Kompleks hunian vertikal ini dibangun sebagai rumah dinas dan hunian tetap bagi mereka yang mengabdi di industri pesawat terbang, berdiri kokoh di atas
lahan 3,8 hektar dengan 864 unit hunian tipe 36 m². Pada masanya, rusun ini menjadi bentuk nyata perhatian terhadap kesejahteraan pekerja, tempat di mana keluarga kecil bisa menata masa depan dan membangun kehidupan.


Namun, waktu dan perubahan ekonomi telah mengubah wajah Sarijadi. Ketika para karyawan mulai dirumahkan, satu per satu penghuni lama harus meninggalkan tempat yang dulu menjadi bagian dari hidup mereka. Kini, blok-blok empat lantai yang dulu penuh semangat, perlahan berubah fungsi
menjadi hunian sewa bagi masyarakat umum yang mencari tempat tinggal terjangkau di tengah kota. Nasib para penghuni lama pun tergusur oleh keadaan, kehilangan pekerjaan sekaligus ikatan pada ruang yang pernah mereka sebut rumah. Mereka yang dulu memiliki kepastian kini harus menghadapi ketidakpastian, sementara bangunan yang sama menyimpan cerita tentang kehilangan dan keterasingan.
Foto-foto yang tersaji menangkap suasana tersebut: loronglorong sempit yang kini diisi wajah-wajah baru, anak-anak yang bermain di sela bangunan tua, serta aktivitas sederhana di depan pintu unit yang menua. Di balik jendela dan balkon, tersimpan cerita tentang kehilangan, adaptasi, dan upaya bertahan di tengah keterbatasan. Potret Rumah Susun Sarijadi, Kota Bandung dari depan Setiap sudut rusun menyimpan jejak mereka yang terpaksa pergi, meninggalkan kenangan dan harapan yang tak sempat
terwujud. Ada pula yang masih bertahan, meski dengan segala keterbatasan dan ketidakpastian, berusaha menjaga kehidupan yang tersisa di antara tembok-tembok yang mulai lapuk.

Rumah Susun Sarijadi hari ini bukan hanya deretan blok beton, melainkan ruang hidup yang merekam kisah tergusurnya para penghuni lama. Di tengah perubahan sosial dan ekonomi, rusun ini menjadi saksi bisu tentang bagaimana nasib bisa berpindah, dan bagaimana manusia terus berjuang mencari ruang baru untuk bertahan.
Melalui photo story ini, kita diajak untuk tidak hanya melihat bangunan fisik, tetapi juga merasakan denyut kehidupan dan pergulatan yang tersembunyi di baliknya-sebuah pengingat bahwa di balik setiap tempat tinggal, ada kisah manusia yang tak boleh terlupakan. Di tengah arus perubahan yang tak terelakkan, Sarijadi tetap berdiri sebagai saksi bisu-menyimpan kisah mereka yang tergusur, namun juga menampilkan semangat untuk terus bertahan dan melanjutkan hidup di tengah keterbatasan. Photo
story ini mengajak kita untuk melihat lebih dekat, memahami, dan merasakan denyut kehidupan yang masih bergetar di antara tembok-tembok yang menua.
