


Bandung, 1 Mei 2025, Taman Cikapayang Bandung menjadi saksi bagi perjuangan buruh hari ini. Berbagai suara saling bersahutan, suara yang selama ini jarang dihiraukan. Mereka bergandengan tangan berusaha bersatu dan berjalan beriringan demi satu tujuan penting, mendapatkan keadilan. Namun hari ini, yang paling lantang bukanlah yang jantan, tetapi mereka yang paling jarang didengar, yang kerap kali terpinggirkan. Para wanita tangguh dari Aliansi Buruh Bandung Raya, warga Dago Elos, dan jurnalis wanita menegakkan pandangannya, bersiap untuk berjuang bersama.



Meskipun memikul beratnya stigma di bahu, para wanita ini tak gentar menyuarakan suaranya. Suara yang biasanya tertanam dalam hati, kini bisa diutarakan walaupun terbatas hanya dalam satu hari. Satu per satu dari mereka maju, memberanikan diri menyuarakan ketidakadilan, diskriminasi, hingga upah yang tak sebanding. Saat itu, mikrofon menjadi saksi bisu pilunya perasaan, poster di tangan berubah menjadi senjata perlawanan, dan tuntutan di mulut menjadi nyanyian perjuangan.

“Kami berharap pemerintah bisa membuat peraturan tentang sistem upah yang lebih layak, khususnya di bidang jasa kebersihan yang masih jarang diperhatikan” ucap Ibu Enis, seorang petugas kebersihan kampus sekaligus ketua pengganti Konfederasi Serikat Nasional. “Kami juga ingin mendapatkan jaminan kesehatan atau jaminan jika terjadi kecelakaan kerja” lanjutnya.


Perjuangan tidak berhenti sampai situ saja, wanita yang selama ini menjaga rumah, kini berdiri di garis depan, membaca kalimat demi kalimat dengan suara lantang. Warga Dago Elos datang membawa selebaran dan harapan. Hari ini, mereka bukan hanya ibu. Mereka adalah buruh, pejuang, dan warga yang selama ini ditindas.
“Putusan yang tidak adil bukan akhir. Kami akan terus melawan segala bentuk intimidasi, penghilangan hak, dan ketidakadilan.” ucap Ibu Resti, salah satu warga Dago Elos.
“Dua hal kini menyiksa kami,” ucapnya sedih, “kerja yang tak adil dan tempat tinggal yang terus diusik.” lanjutnya.
Selebaran yang terus dinyaringkan itu lebih dari sekedar teks. Ia adalah catatan luka serta janji mereka untuk tidak menyerah pada kezaliman, dan pengingat mereka untuk terus berjuang agar dapat keluar dari penindasan kejam.

Disisi lain, jurnalis wanita turut hadir untuk menyuarakan kegelisahan nya, tentang diskriminasi yang dialami di ruang redaksi yang kerap maskulin. Mereka tahu bahwa sejatinya perjuangan tak selalu di depan lensa, kadang justru di baliknya.
Peran yang biasanya hanya menangkap peristiwa yang sedang terjadi, kini turut serta menjadi bagian dari peristiwa itu sendiri. Suaranya bergabung dalam orasi, menyuarakan perlakuan yang kerap disembunyikan di balik meja redaksi: diskriminasi, tekanan, pelecehan, dan minimnya ruang aman.
Hari ini, Taman Cikapayang Bandung sesak dengan nyanyian perjuangan. Tapi yang paling nyaring bukan yang paling lantang. Yang paling nyaring adalah suara para pejuang wanita yang terus bertahan, bersuara, dan tetap berdiri di dunia yang terus menyuruh mereka duduk.