
Anak-anak sedang berjalan diatas reruntuhan
Sukahaji, kawasan yang kini penuh luka dan kesedihan. Di tanah ini, banyak bangunan-bangunan yang tak lagi berdiri secara kokoh, hancur lebur. Bukan karena penggusuran, tapi karena sang merah yang melalap tanpa ampun. Kebakaran ini menyisakan puing-puing bangunan yang hangus dan tumpukan barang berserakan yang menjadi saksi bisu atas ketidakadilan.

Anak-anak bermain di atas reruntuhan
Di tengah reruntuhan itu, anak-anak berlarian. Kaki mereka berada di antara pecahan genting, kayu yang terbakar, dan batu bata berserakan. Ladang puing menjadi tempat bermain yang berbahaya. Mereka mungkin belum mengerti apa yang sedang terjadi. Bagi mereka, puing-puing yang berserakan adalah tempat bermain yang penuh petualangan. Tapi bagi mereka yang mengerti, ini adalah medan perang, sebuah tanah yang diperjuangkan, dan ruang hidup yang dirampas.



Mereka tak sepenuhnya mengerti apa itu konflik lahan. Mereka tak mengerti mengapa api itu datang. Mereka hanya tahu bahwa tempat yang dulu nyaman kini menjadi arena penuh ancaman, bahwa mereka harus kehilangan tempat bermain yang aman. Kaki-kaki mungil ini dihantui dengan pecahan kaca, serpihan kayu, bahkan paku yang tajam yang bisa melukai kapan saja jika tidak berhati-hati.
Seorang anak kecil melangkah melangkah tanpa alas. Kaki kecil ini berayun di antara puing-puing yang berserakan, berjalan tanpa rasa takut. Namun, setiap langkahnya membuat ngeri bagi siapapun yang melihat, berharap kedua kaki itu tidak terluka. Tapi ia terus melangkah, tanpa tahu bahwa tanah tempatnya berjalan telah berubah menjadi medan bahaya.


Namun, dibalik segala kesedihan dan bahaya, tawa mereka tetap menggema. Mereka tetap tertawa sambil bermain bola meskipun hanya di lapangan kecil yang dikelilingi puing-puing. Ada harapan yang tetap hidup, serta semangat yang tak pernah padam. Bagi mereka, bermain dengan teman-teman sudah cukup untuk membuat mereka tetap bahagia.
Di mata mereka, reruntuhan ini bukanlah sisa kehancuran bukan pula akhir dari perjuangan. Ini adalah taman bermain, tempat mereka menciptakan cerita petualangan di atas puing-puing bangunan. Meskipun tak lagi aman dan harus hidup dalam kesederhanaan, tawa mereka terus menggema tetap bertahan meskipun diterjang ketidakadilan.

