

Gedung Sate, yang selama ini menjadi markah tanah Kota Bandung, bukan hanya bangunan pemerintahan, tetapi juga saksi sejarah yang merekam perjalanan panjang bangsa Indonesia khususnya wilayah Jawa Barat. Dibangun pada tahun 1920 oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, gedung ini awalnya dirancang sebagai kantor Departemen Pekerjaan Umum. Kini, Gedung Sate menjadi kantor Gubernur Jawa Barat sekaligus ikon Kota Bandung dan sejarah yang tak lekang oleh waktu. Ciri khas tusuk sate di puncak bangunan menjadikannya mudah dikenali, namun dibalik keunikan arsitekturnya, tersimpan jejak-jejak masa lalu yang masih terasa hingga kini.
Seiring berkembangnya minat masyarakat terhadap wisata, Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah membuka sebagian area Gedung Sate untuk umum, termasuk kawasan di sekitarnya yang sering kali menjadi tempat aktivitas budaya, spot fotografi, serta area rekreasi bagi wisatawan yang ingin menikmati suasana Bandung dari sisi historis.


Kondisi Gedung Sate jauh berbeda dengan berpuluh-puluh tahun yang lalu. Jika dulu gedung ini tidak memiliki banyak ornamen, maka kini ornamen-ornamen seperti lampu yang akan menyala ketika matahari terbenam telah terpasang. Selain itu, kini akses masuk ke dalam gedung telah dibangun pagar sehingga tidak sembarang orang bisa keluar-masuk.


Di kawasan utara Kota Bandung, tepatnya di Jalan Setiabudi, berdiri megah sebuah bangunan bersejarah yang menyimpan kisah panjang peradaban masa kolonial. Bangunan tersebut adalah Villa Isola. Bangunan ikonik bergaya art deco ini merupakan salah satu peninggalan arsitektur era Belanda yang kini menjadi destinasi wisata sejarah dan budaya yang menarik perhatian wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Kini, Villa Isola menjadi bagian dari lingkungan kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), namun keindahan arsitekturnya tetap dipertahankan dan menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung.


Taman Bareti yang menawarkan suasana asri dan teduh menjadikannya pilihan favorit bagi mahasiswa UPI dan masyarakat sekitar untuk berbagai aktivitas luar ruang. Nama “Bareti” berasal dari nama pemilik awal Villa Isola, yaitu Dominique Willem Berretty. Setelah beliau meninggal dunia pada tahun 1934, villa tersebut terbengkalai selama beberapa waktu. Kemudian, manajemen Hotel Savoy Homann tertarik untuk mengelola villa ini dan mengubah namanya menjadi Villa Isola, yang diambil dari falsafah Berretty, M’isolo e vivo, yang berarti “Saya mengasingkan diri dan saya bertahan hidup”.
Taman ini pun memiliki nilai historis yang tinggi. Pada masa penjajahan Belanda, kawasan ini dikenal dengan nama Tjibadag, yang kemudian berubah menjadi Ledeng. Nama “Ledeng” berasal dari bahasa Belanda, “leiding”, yang berarti saluran dan merujuk pada sistem saluran air yang ada di kawasan tersebut. Keberadaan Taman Bareti sebagai ruang terbuka yang memadukan unsur sejarah dan budaya memberikan kontribusi dalam pelestarian warisan budaya serta mendukung kegiatan edukatif di lingkungan kampus UPI.


Pada tahun 1955, di Bandung telah terjadi sebuah peristiwa pergerakan perdamaian serta deklarasinya Dasasila Bandung yang disebut Konferensi Asia Afrika (KAA). Saat itu, Hotel Swarha dijadikan sebagai Hotel untuk para Jurnalis yang ingin meliput KAA. Menurut Rosihan Anwar dalam bukunya yang berjudul Petite Histoire Indonesia, ia menyebutkan bahwa para wartawan menginap di sebuah hotel bertingkat yang terletak di depan kantor pos. Hotel inilah yang bernama Swarha. Letaknya yang berada di Jalan Raya Timur (sekarang Jalan Asia Afrika/samping Masjid Agung) memudahkan para wartawan mengirimkan berita lewat telegram. Namun saat ini, penutupan Gedung Hotel Swarha tersebut masih belum dapat dijelaskan alasannya.


Dahulu kala, pembangunan Jalan Braga sudah erat berkaitan dengan perkembangan Kota Bandung. Pada masa Jenderal Belanda Daendels, daerah Braga berkembang seiring dengan pembukaan jalan raya pos, yang saat ini dikenal dengan Asia Afrika, yang mana hal tersebut juga menjadi awal berdirinya Alun-alun kota Bandung dan Masjid Raya Bandung. Braga awalnya menjadi penghubung antara jalan pos tersebut dengan gudang kopi, yang sekarang menjadi Balai kota.
Ketika Bandung telah berkembang menjadi lebih luas dan tertata, Asia Afrika pertama kali dijadikan sebagai tempat hiburan bagi tuan-tuan tanah Belanda. Maka, sekitar tahun 1920-an, muncullah kehidupan perekonomian di era kolonial tersebut berupa pertokoan, termasuk pusat-pusat pertokoan yang ada di Braga. Saat itu Belanda melakukan segregasi, yang berarti ketika ada kawasan elit baru dibangun, maka hanya diperuntukkan untuk orang berkulit putih, bukan pribumi. Namun ketika Indonesia merdeka, mulai terjadi urbanisasi yang kemudian menjadikan Braga seperti sekarang ini.